Saya mencoba merangkum detail cerita mudik Lebaran di tahun 2016. Mudik dari Kota Semarang Jawa Tengah ke Kabupaten Gresik JAwa Timur dengan menggunakan kereta ekonomi Maharani. Kami satu keluarga berangkat dari rumah naik taksi blue bird dari Perum Sinar Bukit Asri ke Stasiun Tawang Semarang pukul 10.00 wib.
Istri duduk di kursi tunggu sementara saya mengajak anak-anak mencetak tiket secara mandiri di tempat yang telah dipersiapkan. Empat lembar atas nama Saya, Istri, Hadil dan Aufa. Perjalanan kami lanjutkan dengan memasuki ruang tunggu stasiun, kami siapkan ktp + tiket, yang disambut oleh petugas security lalu dilanjut di scan oleh petugas. Bunyi tit empat kali sebagai tanda bahwa data kami valid sebagai pemesan tiket Semarang Surabaya per orang Rp 50.000,-
Kereta datang tepat waktu, tanpa keterlambatan. Segera para penumpang berhamburan menyerbu masing-masing gerbong. Saya masuk terlebih dahulu dengan membawa koper besar menuju tempat duduk 17DE, 18 DE. Tempat duduk berhadapan di gerbong lima. Disusul istri dan anak-anak, akhirnya kami duduk menunggu tepat pukul 11.55 wib kereta melaju perlahan di atas rel menuju ke timur.
Lima menit berjalan, saya buka bekal makan siang untuk Hadil dan Aufa. Anak-anak makan dengan lahap, sementara saya puasa Ramadhan, dan istri beberapa kali meneguk botol aqua karena memang sedang dapat bonus libur puasa sebagai perempuan.
Di dalam kereta ekonomi Maharani yang saya naiki, sudah tak ada lagi pedagang asongan, ruangan ber AC, begitu dingin menembus kulit tipis saya ditambah saya lupa tidak membawa jaket karena perasaan senang bercampur rindu kampung halaman. Lalu lalang penjual nasi goreng, mie instan, minuman, snack, dengan harga tidak biasanya dengan rasa khas kereta yang tidak lebih sedap dari makan Mbah Pu atau Mbah Mut. Dan berkali-kali saya terpaksa beli makanan di kereta karena rasa lapar yang tak mau kompromi atau saya lemas tak bertenaga.
Tulisan ini saya tidak akan membahas kebijakan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan yang berhasil membuat kereta api sterildari pedagang Asongan, penataan stasiun dari bangunan liar sekitar setasiun (coba cek penggusuran berdarah di Kota Semarang tahun 2016 di mesin pencari, karena mungkin saja saya tulis bila menggunakan pendekatan bertutur secara acak versi saya).
Ternyata menulis kisah mudik 2016 membutuhkan kesabaran ekstra sebab lebih mudah menceritakan secara lisan yang mungkin selesai dalam satu jam daripada menulis rangkaian kisah dimana Adik Aufa tidur lebih dahulu setelah kenyang makan siang, yang disusul oleh Abang Hadil setelah Adik Aufa terbangun. Di sini belum saya ulas secara detail bagaimana anak-anak Antusias memberikan tiket kepada kondektur yang memeriksa karcis kereta api.
Bersambung.
Baca Juga Artikel :
Saat Anda Kehilangan Moment Penting dalam Hidup
Sesekali Menulis Blog dalam Bahasa Asing
Pulang Ke Rumah, Cerita Terindah Saat Lelah
Mengenang Pekerjaan Di Masa Lalu
Model Dahwah di era IT