-->

Mbah Benu Telpon Gusti Allah

 LAMA TAK SOWAN MBAH BENU: KANGEN CANDANYA YANG DALAM DAN BIJAKSANA



Sudah lama saya tidak sowan ke kediaman Mbah Benu yang sederhana dan terbuka itu. Di Giriharjo, Panggang, Gunungkidul, yang kalau ditempuh lewat jalan Imogiri harus melewati jalan berkelok naik turun dan penuh tanjakan tajam itu. Yang perlu hati-hati saat melewatinya, meski saat ini aspalnya sudah mulus. Tapi kanan kirinya kan jurang. Butuh kewaspadaan karena bertaruh keselamatan nyawa sepanjang perjalanan hingga sampai di lokasi.


Seingat saya sebelum badai covid itulah saya terakhir sowan ke kediaman Mbah Benu. Sebelum itu beberapa kali ke sana kalau tak boleh disebut sering. Tidak sendiri tentu saja. Biasanya menemani kawan. Atau sekalian menemani putranya yang lagi mudik ke Panggang: Gus Harun Mahbub. Dari Yogya ke Panggang jika jalan normal ya bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan naik mobil. Jika santai jalannya bisa satu setengah jam. Pemandangannga indah nun jauh di sana tapi kanan kiri jalan kebanyakan jurang yang curam. 


Mbah Benu yang sekarang berusia 83 tahun adalah sosok yang humble dan karismatik. Berdiam di rumah yang sederhana yang bisa didatangi siapa saja tak peduli status sosialnya. Mulai petani, tukang kayu, pedagang bakso, anak-abak muda, mahasiswa, hingga pejabat negara atau tokoh politik nasional. Itu pemandangan yang sangat biasa. Bukan hanya terjadi belakangan ini. Tapi sudah sejak tahun 90-an sudah begitu.Keperluannya pun macam-macam. Ada yang ingin mengaji, ada yang minta obat kesembuhan, ada yang minta doa, dan ada yang cuma iseng kayak saya. Dan semuanya dilayani dengan happy. 


Kalau di Nusantara ini ada Walisongo yang dijuluki sebagai ulama yang mengislamkan Tanah Jawa, Saya merasa tak berlebihan kalau menjuluki Mbah Benu ini yang mengislamkan Gunungkidul. Dari tahun 70-an dia berdakwah dari satu bukit ke bukit gersang lainnya, dari bibir pantai ke bibir pantai terpencil lainnya, dari ujung hutan ke ujungnya hutan lainnya, hanya untuk mengenalkan agama Islam kepada masyarakat. Yang pada saat itu mungkin agama tidak begitu dikenal, apalagi ajaran Islam. Gunungkidul lebih kenal Nyi Rorokidul dari pada Allah dan Muhammad. Gunungkidul pada masa itu "dikuasai" oleh 400 aliran kepercayaan yang sampai hari ini masih ada puluhan yang eksis. 


Cara menentang tradisi nyadran ke laut juga sangat cerdas. Rakyat Gunungkidul masih banyak yang miskin dan kelaparan, kenapa harus buang-buang makanan ke laut? "Nyi Roro Kidul itu nggak butuh makanan. Wong dia yang ngasih makanan ikan-ikan sebanyak itu di lautan. Roro Kidul sudah kaya raya dan tidak pernah kelaparan. Jadi, sesajen buah-buahan dan makanannya dibawa pulang saja. Di makan bareng dan dibagi-bagi ke mereka yang masih susah makan. Jangan lupa Kanjeng Ratu Kidul itu juga ahli zikir maka kalian semua juga harus sering-sering zikiran. Nggak perlu juga melarung lawon (kain kafan) ke laut karena pakaian Kanjeng Ratu Kidul itu lebih lengkap, nggak pernah telanjang atau kekurangan kain. Lebih baik kain kafannya dibawa pulang, nanti kalau ada keluarga yang meninggal dunia kain kafan itu bisa disumbangkan, " begitu cara Mbah Benu memasukkan indoktrinasinya. 


Perihal lebarannya yang maju lima hari dari pemerintah dan viral itu, bagi orang Yogya sebetulnya bukan hal aneh. Karena hampir setiap tahun jamaah Mbah Benu berbeda dengan awal puasa dan lebarannya pemerintah maupun Muhammadiyah. Hanya saja, kali ini bedanya sampai empat hari, tahun-tahun sebelumnya paling satu dua hari, dan era sekarang ini ada medsos yang fatalnya lagi hanya menyajikan info-info pendek dalam hitungan detik dan lepas konteks, sehingga beritanya menimbulkan kehebohan di mana-mana. Apalagi saat Mbah Benu mengucapkan kalimat "telpon Gusti Allah" yang sebetulnya bahasa sanepo, bahasa konteks, yang bagi orang Yogya yang seneng gojekan dan plesetan pasti paham maksudnya apa. Semacam "bahasa tinggi" bagi orang-orang yang sudah dekat. Semacam gojekan kere tapi sebetulnya makna sesungguhnya sudah saling paham. 


Mbah Benu sebetulnya mahasiswa Kedokteran UGM. Pada tahun 1971 yang mungkin saat itu sedang KKN atau pengabdian di Gunungkidul, Mbah Benu melihat ada yang jauh lebih parah yang terjadi di masyarakat. Status mahasiswa Kedokteran ditinggalkan dan ia pun memilih berdakwah sendirian di daerah yang terpencil, gersang, riskan. Saya menyebutnya Negeri Batu yang Berbahaya. Saya kok masih yakin kalau ada anak muda disuruh untuk berdakwah di Gunungkidul saat ini belum tentu mau jika sudah sampai lokasinya. Atau kalau toh mau saya yakin hanya kuat beberapa bulan saja. Tapi Mbah Benu sudah istiqomah menjalankan dakwahnya 30 tahun lebih di sana tanpa mengeluh, tanpa minta fasilitas, dan tanpa mengemis ke siapapun. 


Jangan bayangkan tahun 70-an seperti sekarang. Listrik saja mungkin baru masuk di akhir 90-an. Yang ada adalah medan yang serba susah dan serba minimalis. Tak ada akses, tak ada listrik, rawan kriminalitas, semacam pembegalan, pencurian ternak, dan semacamnya. Bahkan tradisi Pulung Gantung atau bunuh diri di atas pohon masih menjadi pilihan warga yang punya masalah. 


Buat saya Mbah Benu punya jasa yang sangat besar mengislamkan Gunungkidul. Bukan hanya status mahasiswa Kedokteran nya yang dia tinggalkan. Tapi, kehidupan kota yang gemerlap dan penuh fasilitas, dan prospek masa depan yang cerah jika menjadi dokter, tak menarik lagi baginya. Menyelamatkan masyarakat dari kesyirikan lebih menantang panggilan jiwanya. 


Ada yang unik selama saya beberapa kali datang ke komplea Aolia atau kediaman Mbah Benu. Orang yang keluar masuk rumahnya tak berhenti. Bahkan terkadang tengah malam. Yang lucu, kadang ada ibu-ibu datang hanya karena bayinya tidak bisa tidur semalaman dan nangis terus, minta Mbah Benu air, minta di doain, diminum kan bayinya, dan bayinya langsung diam. 


Kasus begitu bukan satu dua kali terjadi. Makanya kalau banyak warga lebih percaya dan yakin dengan kasiat air putih Mbah Benu ya wajar. Karena banyak yang sembuh dari sakitnya ketika sudah minum beberapa teguk saja. Ajaib memang. Meski bagi saya sebenarnya logis saja. Kenapa? Karena Mbah Benu setiap hati nderes Quran di kamarnya dan di dalam kamar itu ada gentong airnya. Kalau membaca risetnya Prof Emoto kita pasti jadi paham mengapa air yang diminumkan itu jadi menyembuhkan tamu yang sakit. Karena struktur molekul airnya menjadi heksagonal seperti air zam zam. Dan bentuk seperti itu sangat baik untuk proses penyembuhan karena mampu mengkonvert energi negatif menjadi positif lagi. 


Tapi memang begitulah faktanya. Mereka ke Mbah Benu karena gratis. Bagi masyarakat desa yang kebanyakan ekonominya lemah kalau tak boleh disebut miskin, mendapatkan pengobatan cuma-cuma adalah anugerah. Daripada dibawa ke puskesmas, selain jauh juga harus keluar ongkos tapi belum tentu sembuh, mereka memilih ke Mbah Benu yang mereka yakin cespleng. 


Ada juga tamu yang datang ke sana untuk meminta amalan. Saya sering melihat orang-orang itu minta bacaan-bacaan tertentu yang harus rutin dibaca agar mereka tercapai hajatnya atau lancar usahanya. Tapi ada juga yang tidak diberi meski meminta. Mbah Benu hanya memberi nasehat atau mengajak ngobrol saja. Jadi, kepada setiap tamunya Mbah Benu punya perlakuan yang berbeda. Kadang ya memang hanya mengajak bercanda dan ngobrol biasa saja. 


Makanya saya menyebutnya unik, selain karismatik. Memahami Mbah Benu tentu saja tidak bisa cukup dari sepotong kata-katanya yang tersebar lewat TikTok atau media sosial lainnya. Terlalu menyederhanakan masalah itu namanya. Memahami Mbah Benu jika mau lengkap semestinya memahami jejak langkah dan perjalanannya dalam mengislamkan tanah Gunungkidul dari mulai tahun 70-an hingga hari ini. Memahami lengkap sepak terjangnya akan membuat kita akan bijak saat menilainya.... 


Lama saya tidak ke Panggang dan sowan lagi ke Mbah Benu. Semoga bisa dalam waktu dekat ini. Apalagi saya pengen mencicipi air putih dari kamar beliau. Yang biasa diberikan ke pasien-pasien yang mengeluh sakit. Kayak apa sih rasanya. Sebetulnya bisa minta ke putranya, Harun Mahbub, yang tulisannya ada di bawah ini. Tapi saya nggak percaya kalau dia  yang ngambilin, itu akan dicampur sama ludahnya apa tidak! Gak bahayaaaa ta? 


............... . . 


MBAH BENU


Assalamualaikum. Beberapa hari terakhir viral sosok Mbah Benu dari Gunung Kidul, yang mengaku sudah nelpon Allah. Kali ini telpon minta petunjuk kapan awal dan akhir bulan puasa. Jawaban yang diterima, menurut dia, menuntunnya ambil keputusan kontroversial untuk berlebaran lebih cepat 4-5 hari dibanding umumnya umat Islam. 


Maka mendadak heboh. Berbekal sepotong informasi itu, banyak warganet mencaci, nyinyir, menghujat, sampai menuduhnya sesat dan menyesatkan -meski ada juga yang coba memahami dan berhati-hati menilai. Untung Mbah Benu nggak main medsos :) Kalau tahu dihujat ramai begini, takutnya step atau jantungan. 


Izinkan saya menceritakan sekilas jejak petualangannya. Sekedar memberi perspektif lain saja. Siapa tahu bisa menjawab banyaknya komentar-komentar yang mempertanyakan seputar sosoknya, kok bisa sehalu itu, kok ya ada yang percaya, bahkan santrinya konon sampai ribuan tersebar di segenap daerah terutama di Jawa. 


Mbah Benu mulai 'babat alas' di Panggang Gunung Kidul sejak 1971, mendampingi istrinya, Bu Rien, yang bertugas jadi bidan desa di daerah pelosok. 

Daerah ini belum segemerlap sekarang. Kala itu jalan belum diaspal, listrik belum masuk, krisis air, kontur tanahnya bukan lagi tanah berbatu tapi batu bertanah. Adoh ratu cedhak watu. 


Siang hari Pak Benu, begitu dulu dipanggilnya, kerja serabutan di sela antar jemput istri. Kadang mancing, makelaran, jual bubur kacang ijo, usaha angkutan, belakangan jadi guru agama di sekolah menengah jaringan Taman Siswa. 


Untung ada modal jadi guru agama, yakni sejak kecil sampai remaja belajar agama dari ayahnya, santri dari Purworejo yang aktif berjuang mengusung panji Laskar Hizbullah. Pak Benu kecil ngaji sambil ikut hidup berpindah-pindah sampai daerah-daerah pantai utara Jawa. Ini sekaligus jadi catatan sanad keilmuannya yang paling jelas, ngaji langsung ke ayahnya, Eyang Shaleh Dipoatmodjo.  


Kegiatan malam Pak Benulah yang menurut saya heroik. Dengan kondisi Gunung Kidul seperti itu, tiap malam dia blusukan mendatangi masjid-masjid kampung di pelosok-pelosok. Gubar, Klampok, Sumur, Petoyan, Banyumeneng, Gedad, Getas, Turunan, Temu Ireng, Warak, Krambil Sawit, Ngobaran, Gubukan, Paliyan, Playen, Pulutan, Plembutan, Nglipar, Wonosari, Tepus, juga turun gunung ke Ireng-Ireng, Imogiri, Srandakan, Jogja, dan lain-lain.


Awalnya pinjam motor dinas bu nyai, motor Suzuki era Honda 70-an, sebelum ada rezeki bisa beli Honda GL100. Dia nekat menembus kelam malam, hutan wingit, kuburan angker, melintasi tikungan-tikungan dengan jebakan jurang curam, kadang ditemani hujan berkabut. Berangkat habis Isya, balik sampai rumah lewat tengah malam. Masih lekat dalam memori orang-orang tua sekarang, di era 80-90an kalau tengah malam ada suara montor lanang Honda, itu Pak Benu pulang ngaji.   


Dia sering ajak anak atau santrinya gantian dibonceng untuk 'kanca greneng-greneng' alias teman ngobrol di jalan. Teman boncengan ini penting. Sebab kalau jalan sendiri, malesnya kadang ada yang iseng mbonceng, bukan orang tapi peri, tuyul, kuntilanak, atau pocongan.


Apa yang dilakukannya dalam safari itu tak lain bukan membacakan Al-Quran dan tafsirnya, kadang tahlilan saat ada kematian, atau bersama-sama berdoa jika ada yang tengah tertimpa musibah. 

Untuk itu berapa bayarannya? Gratis. Tapi murid-muridnya biasa ngaturi dua bungkus kretek Gudang Garam Merah, kemudian beralih Djarum Super. Kadang juga dibungkuskan sisa penganan atau nasi berkat, nasi gurih dengan kerupuk merah putih. Alhamdulillah, ada modal ketok-ketok biar dibukakan pintu. 


Seiring menguatnya ekonomi umat, murid-muridnya juga kadang nyangoni buat beli bensin. Mungkin sungkan juga, ibarat kok malah sumur yang mendatangi timba. Sekitar dua puluh tahunan kemudian baru ada beberapa muridnya antar jemput kegiatan syiarnya dengan mobil bak terbuka. Baru tahun 2000-an punya mobil sendiri, Suzuki Futura. 


Kegiatan seperti itu tidak dijalaninya sehari dua hari, tapi berbilang purnama, bertahun-tahun, sampai 30-40 tahunan. Mungkin terdengar glorifikasi ya, tapi itu saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri.  


Pak Benu tidak memiliki catatan ilmu sekaya para alim ulama dari pondok pesantren atau sekolah-sekolah agama NU atau Muhammadiyah. Catatan ilmunya relatif tidak eksklusif, bisa dibaca di  di berbagai kitab kuning. 


Namun catatan ilmu yang digenggamnya itu diamalkan secara konsisten istiqamah. Semisal diundang kalau ada orang sakit atau kena santet, seringnya baca doa-doa anggitan Syaikh Abu Hasan Asyadzili atau Syaikh Hasyim Asyaqafi. Kalau yang rutin dibaca bareng-bareng tiap bulan adalah kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaelani.

Untuk kajian tafsir Al-Quran, dia mengaku kalau kadang kayak dituntun saja lisannya. Sebelumnya kan tak pernah intensif belajar Bahasa Arab atau ilmu tafsir. Adapun Maulid Barzanji seperti di pondok-pondok itu tidak diamalkan. Pak Benu merasa belum pantas kalau mengamalkannya terus dirawuhi kanjeng nabi.


 Dia masih merasa begitu sampai setua ini. Tapi Shalawat Muhamadurrasulullah yang 18 bait itu selalu dibacanya setiap mengawali majelis.   

Kalau saya coba syarah sekarang, komunitasnya Mbah Benu lebih tepatnya merupakan majelis dzikir, yang semangatnya terus menempa ketauhidan. Ajaran akidahnya merujuk Asyariyah cenderung Jabariah, kepasrahan total. Butir-butir hikmahnya banyak merujuk Al-Hikam. 


Begitu lah laku hidupnya, dijalani bertahun-tahun, terbilang puluhan tahun. Dengan begitu, aneh kah jika banyak yang mengikuti dan mencintainya? 

Soal aksi kontroversial, bukan kali ini saja. Sudah sering sejak dulu, hanya karena belum ada medsos saja jadi tak tersiar beritanya.

 

Contoh, sebelum membangun rumahnya sendiri, Pak Benu ajak warga membangun masjid secara swadaya. Dia mengharamkan minta-minta bantuan dana untuk membangun masjid, baik pakai jaring ikan atau proposal. "Nggak malu tah, yang punya rumah ini Maha Kaya," katanya.

 

Tapi dalam hening sepi dia berdoa mbrebes mili ke Yang Maha Kaya, minta dikirimi pasir, semen, batu bata, genteng ;). Di depan makam Syaikh Jumadil Kubro dia juga berikrar, kalau masjid tak terbangun dalam 2 tahun, makam syaikh akan dibongkar, ya salaam. Begitu masjid terbangun pas setelah dua tahun, dia nanggap wayang kulit, atraksi pencak silat, juga ndangdutan! 


Disematkanalah nama Masjid Aolia, dengan harapan jadi tempat singgah para wali. Ada hiasan bentuk kuburan lengkap dengan nisan di depan masjid. Isinya kosong, itu diniatkan sebagai pesan agar orang ingat mati. Ada juga pahatan bertuliskan 'hadza min fadli rabbi'. Artinya kira-kira, semuanya ini karunia Allah. 


Memang ada juga aksi-aksinya yang agak nyerempet. Dia sering ajak anak santrinya tirakat di tempat-tempat keramat atau angker; di puncak anakan Gunung Merapi, pantai selatan, pantai utara, atau lokasi yang diwingitkan. Duduk bersila pejam mata sambil ndremimil, 'Ya Allah, Ya Allah, Lailaha ilallah Muhammadurrasululalh...' berjam-jam. 

Dia juga berusaha membuktikan sekaligus mencari akses komunikasi ke sosok-sosok gaib yang hidup dalam mitologi masyarakat Jawa, seperti Ratu Kidul, Semar, dan sebagainya. 


Masih banyak aksi akrobatiknya yang bikin heboh. Aslinya, semua bermula dari obsesinya agar dilirik oleh Gusti Pengeran Rabb-nya. Caper saja. Sesuai prinsip akidah yang diyakini, baginya Allah itu memang Maha Kuasa, berkuasa mutlak atas segalanya. Manusia sebagai kawula atau hamba, harus terus mendekat dan mencarinya setotal mungkin, senekat mungkin. 


Relasi yang begitu emosional seperti itu yang mungkin memicu terucapnya 'telpon Allah Subhanawata'ala..':)  Salam saya untuk admin NU Garis Lucu yang coba menerjemahkan, bahkan membocorkan hotline Allah: 24434.

Membaca jejak perjuangan sosok yang sedang dihujat ramai-ramai ini, rasanya pengabdian dan capaian saya yang baru bisa jadi kuli dan pedagang kecil-kecilan ini belum sekuku irengnya.

 

Namun penting saya tekankan di sini. Segenap laku Mbah Benu itu tidak lantas membuatnya jadi nabi. Tetap manusia biasa. Sepanjang hidupnya hingga kini, pasti ada salah lisan juga perbuatan, baik dalam konteks hablum minallah dan hablum minannas, dengan sang khaliq dan dengan sesama makhluk. 


Mbah Benu juga terus menua, sudah sepuh. Pemilik nama lengkap Ibnu Hadjar Sholeh itu kini  sudah 83 tahun. Dulu kuat keliling masjid mulang ngaji tiap malam, sekarang ke masjid dekat rumah saja jalannya terseok-seok, sampai banyak santri nawari menggendongnya. Fisiknya sudah melemah. Penglihatan lahirnya melamur, pendengaran berkurang, tubuhnya kurus ringkih ; Ada salah-salah omong dan tindakannya pun niscaya.


Untuk itu tiap hari saya mohonkan ampunan. Dengan segala kerendahan hati saya juga mengetuk pintu maaf juga ke semua yang kenal atau tidak kenal langsung atas kesalahan-kesalahannya. 


Jika berkenan, mohon doanya juga, agar terus mendapat kekuatan meniti jalan pedang misi dakwahnya, agar diluruskan jika ada jalan menyimpangnya. Jika berkenan saja, sebab mendoakan kok rasanya lebih baik dibanding mencela, saya akan sangat berterima kasih. Jika niat mau mengingatkan atau menasihati, didatangi saja ke rumahnya. Mbah Benu masih sempat menerima tamu, di sela shalat dan nderes Quran yang ditarget berat untuk dirinya sendiri, khatam tiap hari. 


Soal ibadahnya terkait bulan puasa dan lebaran termasuk penentuannya, coba nanti saya tuliskan tersendiri ya. Maaf juga kalau cerita ini bias dan berlebihan, ya maklum. Sembah nuwun. 

Wassalam. ... 


Harun Mahbub

HYPNO-SLIDE

Back to Top